Trend Asia Corner Kampanyekan #BersuaraTiapHari & Luncurkan Kolaborasi Video Klip Prahara Jenggala bersama Down For Life di Rock in Solo

Trend Asia mengampanyekan #BersuaraTiapHari di festival musik tahunan Rock in Solo melalui Trend Asia Corner. Dalam ruang kali ini, Trend Asia mengajak publik, khususnya para penikmat musik metal-rock, agar tak pernah berhenti menyuarakan setiap krisis yang mereka hadapi, khususnya isu krisis iklim.

“Kampanye #BersuaraTiapHari telah kami mulai sejak Pilpres 2024 lalu, tapi kami terus membawa kampanye ini sebagai pengingat bahwa suara kita sebagai rakyat tidak terbatas saat pemilu, tapi justru tiap saat. Apalagi saat ini, suara kritis rakyat sangat diperlukan untuk mengawal pemerintah yang semakin hari semakin menyulitkan rakyatnya,” ujar Irfan Alghifari, Tim Kampanye dan Advokasi Trend Asia.

Belakangan ini, masyarakat Indonesia, tak terkecuali di Jawa Tengah, semakin merasakan dampak dari krisis iklim. Alih-alih berupaya menghambat pemanasan global, pemerintah Indonesia justru semakin kecanduan dengan industri ekstraktif.

Di Trend Asia Corner, para pengunjung Rock in Solo diajak untuk melihat bentuk-bentuk pengrusakan lingkungan dan ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia, khususnya sejak rezim Jokowi, melalui pemutaran film, diskusi bersama masyarakat adat dan musisi, stand up comedy, dan berbagai macam permainan interaktif. Selain itu, Trend Asia Corner juga menyediakan photo box gratis bagi pengunjung.

“Tak sedikit dari masyarakat Jawa Tengah yang berprofesi sebagai petani, tapi akibat krisis iklim, banyak petani mengalami pengurangan pendapatan yang signifikan karena suaca yang tak menentu. Di musim hujan seperti sekarang, masyarakat di berbagai belahan wilayah di Indonesia dihadapkan dengan banjir bandang. Ancaman ruang hidup tenggelam juga dihadapi oleh masyarakat pantura Jawa Tengah. Di saat krisis iklim kian mengancam, kita juga dihadapkan dengan ketidakpastian ekonomi. Para pekerja tidak ada jaminan kesejahteraan yang memadai, rezim upah murah, tapi kebutuhan harian kian meningkat. Hal ini ditambah ancaman kenaikan pajak di depan mata,” tambah Irfan.

Selain melalui Rock in Solo, Kampanye #BersuaraTiapHari yang diusung oleh Trend Asia pernah dibawa dalam bentuk lain, seperti Tur Grup LAS! di Kalimantan Barat, Festival Iklim di Bali, dan beberapa festival literasi. Hal ini menjadi bentuk ajakan kepada semua orang, tanpa kecuali, bisa #BersuaraTiapHari melalui beragam medium.

Video Klip Prahara Jenggala dan Ancaman yang Dialami Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir di Trend Asia Corner ini, juga diadakan peluncuran video klip Prahara Jenggala yang berkolaborasi dengan grup band Down For Life, grup musik metal asal Surakarta, Jawa Tengah.

Video klip ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat adat dayak Kualan Hilir di Kalimantan Barat yang saat ini sedang menghadapi ancaman kehilangan ruang hidup mereka akibat keberadaan perusahaan hutan tanaman industri milik PT Mayawana Persada.

“Tujuan kami membuat video klip di Kalimantan Barat meski kami berasal dari Jawa tengah karena kami ingin menunjukkan kepada pendengar kami bahwa kerusakan lingkungan itu terjadi di mana saja. Kami juga ingin mengajak para pendengar untuk aware bahwa kerusakan lingkungan terjadi karena pemerintah kita yang kecanduan dengan pembangunan yang mengabaikan kemanusiaan dan itu memicu ketimpangan sosial, orang kaya yang merebut ruang masyarakat adat. Sebagai warga Solo dan warga yang tinggal di Jawa, kita bisa melihat betapa buruknya pembangunan dan tata ruang yang berantakan. Di pinggir Kali Pepe contohnya, kita bisa melihat dua sisi yang bertolak belakang. Kita bisa melihat orang kaya bisa dengan mudahnya menguasai lahan, tapi kita juga bisa melihat potret kemiskinan juga,” kata Stephanus Adjie dari Down For Life.

Saat ini, masyarakat dayak di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang sedang berhadapan dengan PT Mayawana Persada. Konsesi perusahaan tersebut terletak 1 kilometer dari desa mereka. Keberadaan perusahaan tersebut menyerobot hutan adat mereka.

PT Mayawana Persada adalah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan-Hutan Tanaman(PBPH-HT) yang beroperasi di dua kabupaten, yakni Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Perusahaan ini mengakibatkan deforestasi seluas 55 ribu hektar dan membabat 4000 hektar lahan milik masyarakat adat [1].

“Hutan kami dicuri oleh perusahaan. Padahal hutan itu sudah turun-temurun dikelola oleh warga desa. Hutan ini merupakan sumber mata pencaharian kami. Di situ kami menanam berbagai jenis tanaman seperti durian, bambu, sawit, tengkawang, karet, dan masih banyak lagi. Obat-obatan juga bisa kita ambil dari hutan. Namun sekarang, banyak lahan masyarakat yang diambil oleh perusahaan. Tidak hanya mengambil lahan masyarakat dan menghancurkan tanaman-tanaman kamu, tapi ketika kami memperjuangkan hak, kami dilaporkan dan harus berhadapan dengan polisi. ” ujar Ratius, masyarakat Dayak Kualan Hilir.

Deforestasi yang terjadi di Kalimantan Barat merupakan contoh deforestasi besar-besaran yang terjadi di rezim Jokowi. Bukan tak mungkin, deforestasi di tahun-tahun mendatang akan menjadi semakin besar karena rezim Prabowo juga gencar mendorong Indonesia menjadi raja energi hijau dunia, salah satunya melalui biomassa, yaitu kayu yang dibakar untuk menghasilkan listrik. Pemerintah mengklaim, energi biomassa merupakan energi hijau dan terbarukan.

“Potret apa yang terjadi di Kualan Hilir, Kalimantan Barat adalah potret dari banyak lokasi di Indonesia dimana hutan alam dibabat untuk digantikan menjadi tanaman perkebunan. Hasilnya adalah penyingkiran masyarakat adat, hilangnya biodiversitas termasuk satwa langka dan endemik, serta semakin parahnya krisis iklim akibat emisi karbon yang dilepas dari deforestasi. Melihat asa cita Prabowo dalam pemerintahan saat ini yang mendorong mengenai bioenergi, termasuk di dalamnya biomassa yang akan digunakan sebagai pengganti batubara untuk menghasilkan listrik, maka perluasan deforestasi pasti akan terjadi. Saat ini biomassa kayu digunakan pemerintah di 52 PLTU dengan cara dicampur dengan batubara. Tidak hanya ini akan menyebabkan deforestasi hingga 2,3 juta hektare untuk suplai biomassa, tapi ini juga akan memperpanjang usia PLTU tua. Yang kita butuhkan sekarang dalam menghadapi krisis iklim adalah dorongan ke energi bersih, terbarukan yang berkelanjutan. Serta mulai mendorong pengelolaan sumber daya, baik itu energi dan hutan berbasiskan komunitas masyarakat [2],” ucap Amalya Oktaviani, Pengampanye Bioenergi Trend Asia.